Komisi C Bidang Fatwa pada Musyawarah Nasional ke 9 Majelis Ulama
Indonesia (MUI), juga mengesahkan Fatwa tentang kriminalisasi hubungan
suami istri.
"Pada dasarnya, relasi suami istri harus dibangun sebagai manifestasi
dari cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), dan pelaksanaan
hubungan suami isteri merupakan ibadah," ujar Sekretaris Komisi Fatwa
Munas MUI DR HM Asrorun Ni'am Sholeh di lokasi munas, Hotel Garden
Palace Surabaya, Rabu (26/8/2015).
Fatwa tersebut dituangkan dalam Fatwa MUI Nomor 02/MUNAS-IX/MUI/2015
juga dijelaskan, pasangan suami istri haram melaksanakan hubungan
seksual dalam kondisi yang terlarang secara syar'i yakni, Istri dalam
kondisi haid dan nifas. Suami atau istri sedang berpuasa ramadhan.
Suami atau istri sedang ihram. Dengan cara liwath (anal sex). Dalam
kondisi sakit yang tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan suami
istri.
"Suami wajib menjalin interaksi dengan istri secara makruf dan
karenanya suami tidak boleh memaksa hubungan seksual kepada istri. Dan
istri wajib taat pada suami sepanjang tidak untuk perbuatan maksiat,
karenanya istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk melakukan
hubungan seksual kecuali dalam kondisi yang terlarang secara syar'i,"
tuturnya.
Asrorun yang juga Ketua KPAI ini menambahkan, hubungan seksual antara
suami dalam situasi terpaksa adalah khilaful aula (tidak sesuai dengan
yang utama), tetapi tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan.
"Kriminalisasi hubungan suami istri bertentangan dengan hukum Islam," jelasnya.
Komisi Fatwa MUI ini merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR harus
mereview ketentuan peraturan perundang-undangan untuk disesuaikan
dengan fatwa ini.
"Aparat penegak hukum harus memahami secara utuh bahwa, pidana
perkosaan tidak dapat diterapkan dalam hubungan seksual yang dilakukan
suami istri," katanya.
"Masyarakat perlu memahami etika hubungan suami istri untuk menjamin
terwujudnya hubungan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,"
tandasnya.
Sumber : detiknews.com
Indonesia (MUI), juga mengesahkan Fatwa tentang kriminalisasi hubungan
suami istri.
"Pada dasarnya, relasi suami istri harus dibangun sebagai manifestasi
dari cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), dan pelaksanaan
hubungan suami isteri merupakan ibadah," ujar Sekretaris Komisi Fatwa
Munas MUI DR HM Asrorun Ni'am Sholeh di lokasi munas, Hotel Garden
Palace Surabaya, Rabu (26/8/2015).
Fatwa tersebut dituangkan dalam Fatwa MUI Nomor 02/MUNAS-IX/MUI/2015
juga dijelaskan, pasangan suami istri haram melaksanakan hubungan
seksual dalam kondisi yang terlarang secara syar'i yakni, Istri dalam
kondisi haid dan nifas. Suami atau istri sedang berpuasa ramadhan.
Suami atau istri sedang ihram. Dengan cara liwath (anal sex). Dalam
kondisi sakit yang tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan suami
istri.
"Suami wajib menjalin interaksi dengan istri secara makruf dan
karenanya suami tidak boleh memaksa hubungan seksual kepada istri. Dan
istri wajib taat pada suami sepanjang tidak untuk perbuatan maksiat,
karenanya istri tidak boleh menolak ajakan suami untuk melakukan
hubungan seksual kecuali dalam kondisi yang terlarang secara syar'i,"
tuturnya.
Asrorun yang juga Ketua KPAI ini menambahkan, hubungan seksual antara
suami dalam situasi terpaksa adalah khilaful aula (tidak sesuai dengan
yang utama), tetapi tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan.
"Kriminalisasi hubungan suami istri bertentangan dengan hukum Islam," jelasnya.
Komisi Fatwa MUI ini merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR harus
mereview ketentuan peraturan perundang-undangan untuk disesuaikan
dengan fatwa ini.
"Aparat penegak hukum harus memahami secara utuh bahwa, pidana
perkosaan tidak dapat diterapkan dalam hubungan seksual yang dilakukan
suami istri," katanya.
"Masyarakat perlu memahami etika hubungan suami istri untuk menjamin
terwujudnya hubungan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,"
tandasnya.
Sumber : detiknews.com
Komentar