Aku duduk sendiri di puncak lantai sebuah gedung.
Angin sore berhembus dari utara kota Jakarta mengiringi tenggelamnya sang surya.
Hari pun menjelang malam.
Warna jingga di ufuk barat masih tampak
jelas bercampur awan hitam pekat yang sesekali melecutkan kilat
halilintar.
Bagi seseorang yang sedang dilanda asmara, malam ini barangkali penuh keromantisan yang indah bila dibaitkan dalam kata-kata puisi untuk sang kekasih. Tapi tidak bagi jiwaku yang masih duduk termenung di puncak gedung ini, bagai menjalani sebuah wisata hati, barangkali ini ujung dari perjalanan dan hayalan hari-hari kemarin yang penuh lika-liku melelahkan. Terjal, naik, turun ,menangis dan tertawa dalam kegetiran.
Inilah kekayaan sesungguhnya dimana seseorang dapat mendengar aku bercerita atau melihat aku menumpahkan kata demi kata, kemudian di eja menjadi kalimat atau nyanyian penghibur kegundahan.
Tak selamanya bunga mawar itu memancarkan keindahan bila ternyata duri yang kita suntingkan, dan tak selamanya ulat itu sebuah kehinaan bila kita menghayati darimana ia berasal dan hendak kemana ia setelah mampu terbang dan hinggap di pucuk bunga.
Inilah wisata hati, dimana aku harus mengoreksi diri.
Ini perjalanan, dari akar pondasi hingga puncak gedung, memandang bintang di langit, menyaksikan kelelawar terbang tinggi untuk mencari makan, kemudian kembali lagi ke sarang di pagi hari, menyaksikan
awan-awan berarak, menunggu daun-daun menitikkan embun,kesejukkan dan perjalanan hidup yang berlangsung terus menerus, menunjukkan kesemangatan hidup yang tiada putus, menikmati karunia, mensyukuri anugrah apapun bentuknya.
Semoga dari puncak gedung ini, dimana dapat ku saksikan kemegahan kota Jakarta yang lengkap dengan keberkahan dan kemaksiatannya, dapat ku
pilih jalan kembali yang membawa pada tujuan hidup hakiki.
Komentar